Jumat, 25 November 2011

Menjenguk Masa Silam di Angkor Wat

Jumat, 25 Maret 2011 jam 05.00 pagi-pagi saya sudah harus bangun. Tadi malam setelah pulang dari night market Siem Reap Kamboja, Rin Nom pemandu wisata berjanji akan menjemput jam 05.30. Kami akan mencoba keberuntungan, ke Angkor Wat pagi-pagi, dengan harapan dapat menyaksikan matahari terbit diantara Meru-nya. Dan benar saja, baru saja selesai check-out, Rin Nom sudah siap menjemput di lobby hotel Tara Angkor. Candi Angkor Wat yang terkenal itu, yang menjadi lambang Kamboja, hanya kurang 3 km dari sini.

 
 Cuaca masih gelap, dan beberapa saat kemudian kami melewati sebuah rumah sakit. Anehnya, ada puluhan anak-anak kecil antri di depan rumah sakit. Rin Nom menjelaskan, mereka antri untuk berobat. Agar memperoleh antrian terdepan, maka sejak pagi mereka sudah antri di depan loket. Suara anak-anak itu cukup heboh juga di pagi yang masih gelap ini.

Sebentar kemudian kami tiba di Angkor Wat yang terkenal itu. Di keremangan pagi, Angkor Wat membentuk siluet. Kami masuk melalui semacam jembatan yang melalui kanal buatan lebar. Kanal ini lebarnya lebih dari 150 meter mengelilingi Angkor Wat, dibuat untuk saluran pembuangan air, sekaligus sebagai pertahanan. Beberapa orang turis sudah berdatangan. Di mulut jembatan, seorang petugas menanyakan tiket masuk. Untunglah kemarin sore sudah lebih dulu membeli tiket masuk, harganya USD $ 20.

Kami masuk melalui pintu dimana Patung Wisnu terletak. Rin Nom menjelaskan sebenarnya patung Wisnu letaknya ditengah-tengah Angkor Wat. Ketika Siamese (Thailand) menguasai wilayah ini, mereka berusaha mengangkutnya ke Thailand, tetapi terlalu berat sehingga diletakkan di salah satu pintu masuk. Di depan patung, ada beberapa orang yang berdoa di depan patung Wisnu dengan dupa yang menyala. Angkor Wat memiliki 3 dinding yang melingkupi pusat candi.

Melewati pintu masuk yang terletak pada dinding yang pertama. Dinding paling luar 1024 M X 802 M, tingginya 4.5 meter, dikelilingi oleh kanal yang lebarnya 190 meter. Kami memasuki pelataran yang luas. Di tengah-tengahnya ada jalan masuk yang alasnya adalah batu-batu besar yang padat dan sangat berat. Timbul pertanyaan bagaimana pada abad ke 11 mereka mengangkatnya ke sini? Jalan ini dipagari bentuk seekor naga, di ke dua sisinya.

Kami berhenti dan duduk di reruntuhan batu di dekat pintu masuk utama. Dari jauh tampak siluet dari ke 5 Meru (puncak) Angkor Wat. Semburat merah di ufuk timur menunjukkan Angkor Wat ini membujur tepat timur ke barat. Banyak pengunjung yang duduk dan berjalan-jalan, sudah siap dengan kamera masing-masing.

SEJARAH ANGKOR WAT

Sambil menunggu, Rin Nom menjelaskan banyak hal tentang Angkor Wat. Candi ini dibangun pada abad ke 12 oleh Raja Suryawarman II ( 1113 - 1150), dipersembahkan kepada Dewa Wisnu, dan dijadikan sebagai candi kerajaan dan pusat kota.

Angkor Wat dianggap sebagai salah satu dari keajaiban dunia. Pembangunan Angkor Wat memakan waktu selama 30 tahun. Angkor Wat terletak di dataran Angkor yang juga dipenuhi bangunan kuil yang indah, tetapi Angkor Wat merupakan kuil yang paling terkenal di dataran Angkor. Raja Suryavarman II memerintahkan pembangunan Angkor Wat. Menurut kepercayaan Hindu, Meru adalah pusat dunia dan merupakan tempat tinggal dewa-dewi Hindu. Menara di tengah Angkor Wat adalah menara tertinggi dan merupakan menara utama Angkor Wat.


Gunung Meru ini dikelilingi oleh dinding dan terusan yang mewakili lautan. Laut buatan ini lebatnya 190 meter mengelilingi candi dan merupakan representasi lautan,. Selain digunakan sebagai pertahanan dan perlindungan, juga sebagai irigasi dan drainase. Jalan masuk utama ke Angkor Wat yang sepanjang setengah kilometer dan diapit oleh laut buatan manusia yang disebut sebagai Baray. Jalan masuk ke kuil Angkor Wat melalui pintu gerbang, mewakili jambatan pelangi yang menghubungkan antara alam dunia dengan alam dewa-dewa. Pelataran Angkor Wat terdiri dari 3 tingkatan, dimana yang satu berada lebih tinggi daripada lainnya.

SUNRISE DI ANGKOR WAT

Setelah ditunggu beberapa lama, ternyata awan tipis di ufuk timur menghalangi munculnya Sang Surya. Hanya sinarnya yang semburat merah kekuningan menjadi latar belakang puncak Meru. Setelah mengambil beberapa foto, kami bergerak menelusuri Angkor Wat melalui jalan utama di tengah-tengah yang lebarnya kurang lebih 10 meter. Di kiri-kanannya, masing-masing ada bangunan kecil, menurut Rin Nom itu adalah perpustakaan. Memandang berkeliling, imajinasi bergerak muncur. Pada abad ke 12 bangunan ini pasti sangat megah, dan menjadi pusat kegiatan kerajaan Khmer.

Berjalan lurus ke pusat candi, ternyata Nom mengajak saya keluar dari jalan dan belok ke kiri, menuju sebuah kolam di sisi kiri jalan masuk. Tadinya saya bertanya-tanya mengapa harus ke kolam ini. Setelah memperhatikan sekeliling, baru saya tahu ternyata kolam itu memantulkan bayangan Angkor Wat. Dengan sudut tertentu bayangan Angkor Wat sepenuhnya masuk ke kolam tersebut. Jadi, dari sinilah dibuat foto Angkor Wat yang menjadi lambang Kamboja, tersebar ke seluruh penjuru dunia!

Kami terus berjalan dan melewati dinding ke dua, terus memasuki Candi dari sisi barat laut. Masuk ke candi, kami melewati bangunan candi dimana pada tepinya terdiri dari lorong-lorong dengan lebar yang cukup untuk berpapasan 2 orang. Yang membedakan dengan candi di Jawa, lorong-lorong ini diberi atap dan terlindung dengan baik. Dindingnya dipenuhi pahatan dengan kisah dan cerita kehidupan Khmer. Beberapa pahatan kejadian sejarah dan kehidupan sehari-hari dipahatkan dengan detil. Raja selalu di gambarkan dipayungi oleh abdinya, dan ditandai dengan jumlah payungnya. Jika payungnya berjumlah 15 buah, berarti itu adalah penggambaran seorang raja.

Ada sebuah dinding yang berisi pahatan tentang kisah Ramayana. Oleh sebab itu banyak orang India yang datang ke sini. Bahkan India menyumbang cukup besar untuk restorasi kompleks Angkor Wat ini.
Setelah berjalan mengelilingi lorong-lorong, kami naik ke pelataran ke dua yang letaknya lebih tinggi. Disini ada 4 buah kolam yang sekarang kering. Menurut Rin Nom dulu kala, kolam ini berisi air suci yang digunakan untuk keperluan keagamaan. Ada 4 buah kolam kering yang mengelilingi Meru Puncak Utama. Dulunya kolam itu berisi air suci. Bagaimana ada kolam di ketinggian ini? Yang pasti bukan dari air hujan, karena air suci biasanya datang dari dalam tanah. Pasti ada cara, bagaimana mengisi kolam di ketinggian ini dengan air suci.

Beberapa patung Budha diletakkan disini. Pengganti Raja Suryawarman II adalah penganut Budha, Syukurlah Raja penerus ini tidak merusak peninggalan Candi Hindu Angkor Wat ini, dan hanya melengkapinya dengan patung-patung Budha. Dan ada sebuah Budha yang cukup besar terletak dibagian tengah pelataran ini.
Disini kami harus menunggu, karena untuk naik ke puncak ditentukan jam-nya. Dan pintu masuknya yang berupa tangga terjal ditutup. Di pelataran beberapa anak muda dengan pakaian tradisional siap berpose dengan bayaran tertentu. Mereka berpakaian beraneka dan mewakili filsofi Hindu, misalnya : Hanuman, Apsara, Dewa, Ganesha.

MERU DI PUNCAK

Di tingkat tertinggi, kami naik melalui tangga sementara yang terbuat dari kayu. Tangga yang sangat curam. Tidak seperti di Borobudur, tangga naik di Angkor Wat dibuat terjal dan sulit naiknya. Ini adalah sebuah ibarat. Menaiki Meru -puncak kehidupan- memang tidak mudah, dibutuhkan determinasi, ketekunan dan kekuatan jasmani dan rohani untuk sampai di puncak. Dibawah sinar matahari yang hangat di lagi hari, saya bersama puluhan bule dan pengunjung dari berbagai negara, bergantian naik. Petugas Angkor Wat menjaga dan memperingatkan agar berhati-hati. Rin Nom tidak naik dan menunggu dibawah.

Jadi inilah puncak Angkor Wat. Ada 5 buah Meru yang mulai aus dimakan usia, batu-batunya tergerus angin berabad-abad tetapi masih menunjukkan kekokohannya. Bangunannya tidak banyak berbeda dengan tingkat dibawahnya. Pahatan Apsara yang sedang menari dalam berbagai bentuk gerakan, tersebar dimana-mana. Apsara adalah semacam bidadari, kreasi asli bangsa Khmer.


Hampir 20 menit di pelataran tertinggi, saya segera turun. Masih ada yang harus dilihat lagi selain Angkor Wat, yaitu Ta Phrom dan Bayoun. Saya bergegas turun dan menuruni tangga yang curam dengan hati-hati. Rin Nom menjukkan bagian timur yang relatif sama dengan bagian lainnya.

Tiba di bagian Timur bagian Selatan, pada dinding terpampang pahatan seekor naga panjang yang ditarik oleh Dewa dan Asura. Tadinya saya akan melewati bagian ini begitu saja, tetapi Rin Nom berhenti dan mengatakan akan menjelaskan bagian yang sangat sakral dan mengandung mistis Hindu. Pahatan yang menutupi seluruh dinding bagian Selatan dari sisi Timur ini dibuat copy print-outnya, diatas plastik vinil sepanjang lebih dari 10 meter, dan dipasang memanjang di depan dinding. Relief yang menempati seluruh sisi selatan dinding bagian timur tampak sedang di perbaiki.

Copy ini sebagai bahan untuk restorasi yang sedang dilakukan. Rin Nom bilang itulah deskripsi dari kisah “The churning sea of milk”! atau Lautan susu yang bergolak. Cerita lengkapnya begini :

THE CHURNING SEA OF MILK

Mitologi Hindu “Lautan Susu Yang Bergolak” menceritakan, bahwa alkisah ada 13 benda berharga, ramuan keabadian telah musnah di dalam lautan kosmis yang bergolak. Untuk menemukannya dan membangkitkannya kembali, dibutuhkan kerjasama antara Dewa dan Asura (iblis). Untuk membantu usaha ini, seekor ular raksasa Vasuki menawarkan dirinya sebagai tambang yang berfungsi sebagai “tongkat pengaduk”. Naga raksasa ini ditarik ke depan dan ke belakang oleh Dewa dan Asura.

Bagian kepala ular raksasa Vasuki ini ditarik oleh 91 raksasa Asura dengan muka cemberut, yang dikepalai oleh 21 Raja Iblis Ravana. Di bagian ekornya ditarik oleh 88 Dewa, di bawah komando Dewa Monyet Hanuman.


Pada titik porosnya dari “tongkat pengaduk” ini Vasuki melilitkan dirinya di gunung Mandara. Pada suatu saat Gunung Mandara mulai tenggelam dan harus ditopang dengan se ekor kura-kura, sebagai reinkarnasi Wisnu.

Di tengahnya, Dewa Wisnu bertangan empat, mengendalikan operasi ini Diatas Dewa Wisnu adalah Dewa Indra, dewa langit. Gerakan tarik-menarik antara dewa dan asura ini menyebabkan Vasuki memutar Gunung Mandara dan mengaduk lautan menjadi busa, seperti blender kosmis raksasa. Proses ini melepaskan cairan hidup, yang menciptakan Amrita, sari kehidupan dan keabadian, maka lahirlah Apsara, atau penari angkasa. Apsara yang menggiurkan menjanjikan kesenangan bagi mereka yang mencapai inkarnasi yang sempurna. Perang tarik-menarik antara Dewa dan Asura ini berakhir dalam waktu ribuan tahun.

Rin Nom begitu antusias menjelaskan The churning sea of milk ini, membuat saya menjadi berusaha memahami latar belakang dari legenda tersebut.

Sebentar kemudian kami berjalan ke luar dari Angkor Wat, candi kebanggaan Kamboja dan lambang kejayaan masa silam. Menyusuri jalan yang diapit pepohonan Spung yang menghutan disekitar candi.
Kami terus berjalan menuju Ta Phrom, tempat pembuatan film Tomb Raider dengan bintangnya Angelina Joly yang memerankan Lara Croft. (sejarah.kompasiana.com)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes